Kadang cinta memang tak harus memiliki. Cinta butuh pengorbanan. Dan aku merasakan hal itu. Namaku adalah Jono Murdiarto. Berpangkat Kopral. Ya, memang benar bahwa aku dulu adalah seorang tentara. Kisah ini adalah kisah cintaku yang berawal kepedihan namun berakhir bahagia. Kisah ini berawal dari 30 tahun yang lalu. Saat itu umurku baru menginjak 22 tahun. Saat aku ditugaskan ke Aceh, aku dipertemukan dengan seorang gadis yang rupawan. Kami bertemu tanpa sengaja dan tanpa sepatah kata yang terucap. Sejak pertemuan itu, kami tak pernah bertemu lagi. Aku sudah mencari ke setiap pelosok desa dan tempat pertama kali kami bertemu, tapi tetap saja hasilnya nihil.
Hingga suatu hari, aku harus kembali ke Jawa karena tugasku di Aceh telah usai. Walau pun sudah hampir 1 tahun sejak berakhirnya tugasku di Aceh, aku belum bisa melupakan wajah gadis pujaanku. Hingga suatu hari, kami dipertemukan kembali oleh nasib lewat tangan pamanku. Pamanku mencarikan jodoh untuk diperistri olehku karena beliau tak tega melihatku terus muram. Dan tanpa diketahui, gadis itu adalah anak dari sahabat pamanku yang telah meninggal dunia. Aku langsung terpana dan tak kuasa menahan gejolak yang membuncah di dada. Semua rasa bercampur menjadi satu. Ada bahagia, kesal dan tak percaya. Tiga bulan kemudian, kami sudah mempersiapkan segalanya untuk pernikahanku dengan sang pujaan hati.
Aku begitu bahagia, begitupun dia. Akan tetapi, 2 minggu sebelum pernikahanku dilangsungkan, aku mendapatkan kabar buruk yang membuat seluruh ragaku lemas seketika. Bagaimana tidak, aku tak mendapatkan restu dari atasanku untuk menikahinya. Hal ini dikarenakan kakeknya masuk dalam salah satu organisasi teroris yakni PKI. Hatiku hancur lebur saat mengetahuinya. Undangan sudah tersebar kemana-mana, para penghibur dan hidangan sudah kami pesan. Tinggal menunggu harinya saja untuk dihidangkan. Dan pengantinku tak bisa berbuat apa-apa. Karena dia sendiri tak tahu bahwa kekeknya adalah seorang teroris yang cukup aktif dan masuk golongan B. Enam bulan kemudian, kekasihku dilamar lelaki lain. Dan dia menerimanya. Saat mendengar hal itu, hatiku hancur berkeping-keping. Bagaimana tidak, wanita yang kucinta selama 3 tahun terakhir ini,yang sudah ku putuskan untuk menjadi ibu dari anak-anak ku,yang sudah ku idam-idamkan dalam mimpi ku. Sekarang dia harus bersanding dengan lelaki lain dan bukan aku.Hingga suatu hari, aku harus kembali ke Jawa karena tugasku di Aceh telah usai. Walau pun sudah hampir 1 tahun sejak berakhirnya tugasku di Aceh, aku belum bisa melupakan wajah gadis pujaanku. Hingga suatu hari, kami dipertemukan kembali oleh nasib lewat tangan pamanku. Pamanku mencarikan jodoh untuk diperistri olehku karena beliau tak tega melihatku terus muram. Dan tanpa diketahui, gadis itu adalah anak dari sahabat pamanku yang telah meninggal dunia. Aku langsung terpana dan tak kuasa menahan gejolak yang membuncah di dada. Semua rasa bercampur menjadi satu. Ada bahagia, kesal dan tak percaya. Tiga bulan kemudian, kami sudah mempersiapkan segalanya untuk pernikahanku dengan sang pujaan hati.
Aku hampir gila karenanya. Setelah 2 tahun hidup dalam kesengsaraan batin. Akhirnya aku menemukan lagi tambatan hati. 3 bulan kemudian aku menikah. Hanya saja, aku masih belum bisa melupakan dia sepenuhnya. Hingga akhirnya aku beranjak tua dan semakin tua. Istriku meninggalkanku terlebih dahulu dalam usia 50 tahun dan dia meninggal karena komplikasi. Aku sangat menyesal pada diriku sendiri karena selama 23 tahun istriku sangat setia dan pengertian. Walaupun selama ini aku tak pernah bisa benar-benar melupakan gadisku.
Aku hanya mempunyai seorang putri bernama Fatimah. Fatimah, aku memberikan nama tersebut kepada anak semata wayangku karena nama itu sangat berarti untukku. Hampir 2 tahun sejak kematian istriku aku tak pernah ingin berbaur dengan masyarakat sekitarku. Tapi entah mengapa, suatu hari aku ingin pergi untuk jalan-jalan ke pasar bersama Fatimah. Karena sudah lama aku tak keluar rumah, walaupun hanya melihat pasar namun hatiku sudah senang. Karena hal ini mengingatkanku saat pertama kali aku dan gadisku bertemu. Ah…tanpa sadar hari hampir siang. Aku bergegas untuk pulang. Karena fisikku sudah tak sebugar dulu lagi. Jika terkena panas cukup lama tubuhku akan lemas. Akan tetapi, sedari tadi aku tak melihat adanya Fatimah, putriku. Kemudian aku memanggilnya agar dia tahu kalau aku ingin pulang.
Aku berteriak “ Fatimah…dimana kamu?! Fatimah ayo cepat kesini!!”. Akan tetapi, bukan putriku Fatimah yang mendekat. Melainkan seorang nenek tua yang memakai kebaya berwarna ungu dan penutup kepala berwarna senada. Dia semakin mendekat, lalu ia berkata “ Mas Jono? Mas Jono Mudiarto?” untuk sesaat aku merasa keheranan. Tapi tak berapa lama, aku mengenali suara itu. “’ Fatimah?? Siti Fatimah?” tanyaku. Lalu dia menjawab “ iya mas. Ini aku Siti Fatimah. Bagaimana keadaanmu mas, sehat?”
Aku tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Setelah hampir 30 tahun aku terus memendam perasaan ini, aku depertemukan kembali dengan Siti Fatimah sang pujaan hatiku oleh Yang Maha Kuasa. Aku tak kuasa menahan haru. Apalagi saat kulihat, paras ayunya telah terkikis oleh usia. Tetapi, hal itu tak mengurangi sedikit pun rasa cintaku padanya. Aku mengajaknya untuk mampir barang sebentar ke rumahku. Kami bertukar cerita. Dan ternyata, Fatimah pun telah ditinggalkan oleh orang terkasihnya hampir 5 tahun lalu karena kecelakaan lalu lintas.
Tanpa kusadari, Fatimah putriku menemukan tambatan hati yang ternyata adalah putra dari Siti Fatimah, gadisku. Selama ini Fatimah tak pernah memperkenalkan calon suami atau pun kekasihnya. Padahal gadis-gadis lain yang seusianya sudah mempunyai pendamping hidup dan juga buah hati. Hal ini dikarenakan Fatimah terlalu sibuk untuk melayani dan mengurusku yang sudah tua renta.
Walaupun putra dari gadisku sempat bercerai dan mempunyai 2 orang putra, tapi hal itu tak menjadi masalah buatku. Mungkin kami memang tak berjodoh, akan tetapi melihat putriku dan putranya bersanding di pelaminan sudah membuatku cukup bahagia.
3 bulan kemudian, mereka melangsungkan pernikahan. Kini, walaupun dulu aku tak bisa bersanding dengannya. Tapi, darah daging kami lah yang menyatukan perasaan dan tali kekeluargaan ini. Terima kasih aku ucapkan kepada kalian, putra-putriku.
Teruntuk Siti Fatimah, gadisku
“ Walau cinta kita tak bisa bersatu. Tapi aku akan terus mencintaimu hingga akhir hayatku”